Sabtu, 20 November 2010

Format Ideal Pendidikan Islam

FORMAT IDEAL PENDIDIKAN ISLAM

Indonesia

Oleh : Rasyidi, S. PdI/Dosen PAI STAI TF Dumai)


Latar Belakang

Ditengah kompetisi kehidupan yang multikompleks sekarang ini, mendambakan pendidikan islam ideal adalah suatu keniscayaan. Tanpa pengetahuan yang memadai dan mandiri, kita akan terpinggirkan bahkan termarginalkan secara tragis di tengah kemelut krisis globalisme. Globalisasi, modernisasi, dan istilah kontemporer lainnya yang dibanggakan manusia sekarang ini bukannya tanpa menimbulkan problem yang serius. Manusia di Barat, misalnya, banyak yang terjebak dalam krisis eksistensial, teralienasi dari dirinya sendiri, bahkan sampai memutuskan ‘gantung diri’ ditengah kekayaan yang melimpah. Inilah ironi jaman modern.

Banyak sekarang fenomena yang kita lihat yang berkeinginan memperbaharui sistem pendidikan nasional Indonesia. Keinginan seperti itu tentu perlu kita sambut baik. Sebab, jika berhasil memperbaiki sektor pendidikan, akan mempengaruhi keberhasilan bangsa kita menghadapi tantangan masa depan. Hanya saja, karena menyangkut masa depan bangsa, pembaharuan sektor pendidikan tentu perlu melibatkan masyarakat luas untuk mendapatkan masukan informasi.


Sistem pendidikan Nasional

Apa yang dihadapi oleh kita saat ini tentang rendahnya mutu pendidikan dan menurunnya akhlak peserta didik sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh satu atau dua faktor saja. Sistem pendidikan formal di Indonesia memiliki beragam kendala, baik kendala internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal memang telah diupayakan untuk dibenahi secara maksimal, akan tetapi masih perlu waktu yang lama untuk menyamai kualitas pendidikan negeri ini dengan negara lain seperti Malaysia. Kualifikasi guru-guru yang mengajar di sekolah sudah seharusnya lebih ditingkatkan lagi, karena akses anak didik sekarang terhadap sumber-sumber ilmu jauh lebih hebat dibandingkan anak didik pada generasi-generasi sebelumnya. Berdasarkan pengamatan penulis, banyak guru dan dosen yang mengajar di era teknologi informasi (IT) saat ini masih tidak mampu mengoperasikan alat-alat dan media pembelajaran yang berbasis IT tersebut. Padahal anak-anak didik (apalagi mahasiswa) memiliki ketrampilan yang jauh lebih dahsyat lagi.

Kemampuan dan penguasaan materi para guru juga menjadi sorotan yang tajam yang harus selalu diperhatikan. Mereka yang sekarang menjadi guru pada umumnya berasal dari lembaga pendidikan tinggi seperti IKIP atau Sekolah Tinggi Pendidikan lainnya yang pada saat mereka memilih kampus itu, kebanyakan memiliki kemampuan yang tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan mereka yang masuk ke Perguruan Tinggi non-kependidikan. Atas dasar itulah, program pengembangan diri dan pelatihan peningkatan kualitas guru menjadi bagian yang tidak boleh dikerjakan sambil lalu.

Sisi lain yang juga menjadi tekanan penting bagi dunia pendidikan adalah integritas atau akhlak. Proses yang baik dari sebuah sistem adalah proses yang dapat menghasilkan output yang lebih baik. Atau dengan kata lain, proses pendidikan akhlak baru dianggap berhasil manakala manusia hasil didikan bangku sekolah dan kuliah yang hidup di negeri ini memiliki kepribadian yang islami. Bukankah pepatah menyatakan “Sesungguhnya tegak dan kokohnya (jatidiri) sebuah umat sangat tergantung kepada akhlak mereka”.
Persoalan akhlak ini muncul bukan karena kurangnya materi pelajaran agama atau budi pekerti, akan tetapi lebih disebabkan karena hilangnya contoh dan model dari para orang tua dalam pengertiannya yang luas. Ketika anak-anak TK atau SD diajarkan tentang ketertiban dan kedisiplinan berlalu lintas di sekolah, mereka justru menjumpai para orang tua atau orang dewasa (pengguna jalan) melakukan pelanggaran dan berbalik dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Ketika siswa SMP atau SMA di sekolah diajarkan konsep dan nilai-nilai tentang hidup sederhana, bekerja keras untuk menggapai tujuan atau larangan mengambil hak orang lain oleh guru Agama atau guru PPKN, mereka menjumpai kondisi yang kontras dan berbalik seratus delapanpuluh derajat dengan kenyataan di rumah atau di masyarakatnya.
Mereka menyaksikan tayangan TV dan kehidupan sosial yang digambarkannya serba glamor dan serba permisif . Budaya nyontek di sekolah ketika ulangan kadang dibiarkan berlangsung terus yang pada gilirannya mereka terlatih untuk mengambil hak temannya. Mula-mula memang kunci jawaban atau cara menjawab soal ketika di sekolah, akan tetapi budaya ini akan terus berbekas manakala mereka hidup di tempat kerja atau di masyarakatnya. Mereka dengan terbiasa mengambil hak orang lain atau hak negara dengan melakukan “mark up” ketika mengajukan tender; memanipulasi data dan kegiatan ketika melaporkan pertanggungjawaban keuangan tahunan di kantor atau perusahaanya; atau bahkan membuat laporan fiksi. Semua prilaku jahat diatas mungkin juga mendapat kontribusi dari kebiasaan di sekolah atau di kampusnya beberapa waktu sebelumnya.

Bandingkan dengan sistem pendidikan Pesantren yang tidak menggunakan test tertulis (apalagi dengan pilihan ganda). Di lembaga ini, tidak ada evaluasi yang menyebabkan seorang santri mencontek hasil pekerjaan temannya. Evaluasi biasanya dilakukan dengan cara menghafal dan ujian lisan atau praktek langsung. Ilmu yang didapat seorang santri senior biasanya harus diajarkan kepada kelas yang lebih rendah, sehingga proses akumulasi pengetahuan berjalan secara mantap.

Memang, sistem evaluasi pembelajaran dari sekolah formal tidak serta merta dapat meniru sistem evaluasi yang berlaku di lembaga pendidikan pesantren. Akan tetapi yang menjadi konsen penulis adalah bahwa masalah sistem evaluasi soal model pilihan ganda meskipun dapat mewakili lebih banyak indikator pengetahuan yang telah diajarkan, akan tetapi kelemahannya adalah siswa terbiasa menebak tanpa berfikir dan mencontek dari teman-teman yang lainnya, apalagi pengawasan yang diberikan oleh guru tidak ketat
Belakangan ini beberapa pihak berkeinginan memperbaharui sistem pendidikan nasional Indonesia. Keinginan seperti itu tentu perlu kita sambut baik. Sebab, jika berhasil memperbaiki sektor pendidikan, akan mempengaruhi keberhasilan bangsa kita menghadapi tantangan masa depan. Hanya saja, karena menyangkut masa depan bangsa, pembaharuan sektor pendidikan tentu perlu melibatkan masyarakat luas untuk mendapatkan masukan informasi.

Di sini, penting dicatat, bila kita mendiskusikan pembaharuan pendidikan, dengan sendirinya kita tak bisa menghindar untuk membahas penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan. Ini tak terlepas dari konsep dan sistem pendidikan nasional kita selama ini yang dikorelasikan dengan kebutuhan mendesak masa kini, dan harapan subjektif di masa depan, seiring dengan arus informasi dan modernisasi yang disertai penyebaran ideologi Barat.

Guna mengevaluasi konsep dan sistem pendidikan nasional itu, mau tak mau kita perlu mencermati produk dari konsep dan sistem pendidikan yang telah kita terapkan itu. Kenyataan yang tak mungkin dihindari, kemakmuran materiil melahirkan berbagai akibat yang tidak hanya di sektor ekonomi tapi juga menjalar kepada aspek sosial-budaya, di mana masyarakat mengalami perubahan sikap dan tingkah laku yang cenderung menyimpang dari kebiasaan sebelumnya.

Yang harus kita tuding sebagai biang keladi ialah orang dewasa yang tak mampu menampilkan diri sebagai representasi akhlakul karimah di hadapan anak didik. Alam modern ternyata telah dapat membutakan pandangan masyarakat kita (terutama di perkotaan) dalam memilih nilai-nilai pendidikan yang berkembang di tengahtengah mereka sehingga tak mampu menentukan mana yang murni kultur Timur dan mana yang adopsi kultur Barat. Harus kita akui, kini sedang muncul gejala mulai melemahnya nilai-nilai Timur dan menguatnya kultur Barat, khususnya di kalangan anak muda.

Dari dulu telah banyak pakar berbicara supaya kita hati-hati dengan modernisasi. JK Galbraith (1983), sebagai orang Barat, sudah memperingatkan akan adanya efek modernisasi. Berdasarkan pengamatannya, Galbraith menemukan problema pokok yang harus dihadapi masyarakat modern di mana saja, yakni problema tindak lanjut sesudah modernisasi telah berhasil diwujudkan dalam bentuk kemudahan hidup dan kemakmuran materi. Sampai kini, yang rawan terkena bias modernisasi adalah aspek kultural.

Lantas bagaimana kaitannya dengan upaya pembaharuan konsep dan sistem pendidikan? Seperti dikatakan sebelumnya, hingga saat ini titik tekan tujuan pendidikan nasional kita adalah peningkatan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan secara fisik. Konsep seperti itu berdampak pada kemampuan lulusan formal yang hanya handal di sektor teori dan praktik ilmiah, serta terampil memproduk sesuatu tapi mengalami kemandulan moralitas. Padahal, secara hakiki, pendidikan dilaksanakan tidak sekadar untuk membina murid menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan.

Dengan begitu, paradigma pendidikan yang ideal semestinya dapat menggabungkan dan sekaligus menjaga keseimbangan antara aspek fisik dan aspek moralitas. Quraish Shihab (1992) pernah mengingatkan agar tujuan pembinaan pendidikan diarahkan menjadi tiga. Pertama, pembinaan akal yang menghasilkan ilmu. Kedua, pembinaan jasmani yang menghasilkan keterampilan. Dan ketiga, pembinaan jiwa yang menghasilkan kesucian dan etika. Kategori Shihab itu bisa dipakai sebagai pedoman untuk merinci aspek-aspek pendidikan yang mesti digabungkan dan diseimbangkan.

Dengan mengombinasikan aspek-aspek di atas, akan lebih dapat dijamin lahir anak didik dwidimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat, ilmu dan iman, pengetahuan dan akhlak. Tujuan pembinaan pendidikan demikian bisa dirumuskan untuk melahirkan paradigma pendidikan nasional yang ideal, yakni pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia yang berilmu, bertakwa, dan berbudi luhur.

Perlunya kita menerapkan konsep pendidikan ideal itu, terutama diilhami pengalaman pendidikan bangsa kita ketika zaman pendidikan Budi Utomo dulu dengan konsep Tamansiswanya. Waktu itu pendidikan kita memang jauh tertinggal dibanding kemajuan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dicapai saat ini. Tapi tingginya kualitas moral dan keunggulan nilai martabat manusia tetap menjadi perhatian utama. Aspek terakhir ini telah terbukti mampu membuat daya tahan bangsa Indonesia menjadi kuat sehingga berhasil mengantarkan bangsa ini meraih kemerdekaannya.
Hanya saja dalam perkembangannya, karena ekspansi dan penetrasi Barat terutama di bidang ekonomi sedemikian kuatnya, telah mengakibatkan bangsa kita terseret ke dalam struktur budaya dan sistem pendidikan yang menjadi kebarat-baratan. Akhirnya kita pun menerima konsep pendidikan Barat yang individualis-materialistis berparadigma liberalisme dan kapitalisme, di mana indikator kemajuan pendidikan cenderung diukur secara fisik.
Karena konsep pendidikan itu tak sesuai dengan ideologi bangsa kita, maka indikator fisik tersebut bukannya menghasilkan kemajuan tapi justru kemunduran. Ini mungkin karena di sana terkandung potensi degradasi moral dan turunnya derajat kemanusiaan. Kini selayaknya indikator kemajuan pendidikan Barat itu kita tinggalkan, dan beralih kepada indikator kita sendiri.

Tercapainya hidup berbudi luhur dan bertakwa mesti diusahakan seperti dilakukan terhadap penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dalam konteks ini pendidikan agama merupakan tumpuan harapan untuk memecahkan masalah akhlak dan moral pelajar Indonesia.

Peran Pendidikan dalam membentuk kualitas manusia.

Pendidikan merupakan aktifitas yang sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia. Hal ini disebabkan karena kegiatan pendidikan lahir dan berkembang sejalan dengan mainstream sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Lewat pendidikan paradikma hidup terus berganti (paradigm shift) dalam perjalanan kehidupan manusia. Perubahan tatanan masyarakat dari non-modern menuju modern tidak terlepas dari peran pendidikan sebagai garda depan perubahan kualitas sebuah masyarakat.

Inkeles menjelaskan pendidikan merupakan faktor terpenting yang meniscayakan ciri manusia moderen (Suwarno & Alvin 2000:31). Sedangkan kondisi modern itu sendiri bermakna perubahan struktur sosial dalam masyarakat yang membawa perubahan nilai-nilai, norma-norma dan perilaku sosial (Inkeles 1966:152). Modernisasi mengakibatkan perubahan kepribadian dalam masyarakat modern, semisal perubahan dalam prilaku, pandangan dan cara hidup serta cara berpikir mengenai nilai norma dan agama, sebagaimana pendapat Shipman (1971;20) “ modernisation does not just replace the technology, scales and tempo of live and work, but changes the expectations that govern behaviours itself “. Oleh karena itu dapat dikatakan pendidikan merupakan agent of modernisation yang memikul beban berat dalam menciptakan perubahan masyarakat demi kebaikan dan kemajuan masa depan.
Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk generasi penerus sesuatu bangsa. Dengan demikian, sudah selayaknya apabila kita merenung pemahaman tentang paradikma pendidikan jangan hanya dikurung dalam pengertian yang sangat sempit yakni hanya pendidikan sekolah (sekolah formal). Namun lebih dari itu nalar kita hendaknya merambah kesemua aspek kehidupan sebagai kegiatan pendidikan. Dimana aspek kehidupan tersebut dapat menjadi sarana dan media pembelajaran (Sidi 2001:4). Dari sini lahirlah satu ide menciptakan masyarakat belajar (learning society ), maknanya aktor belajar bukanlah mutlak sebagai atribut yan menempel pada peserta didik dan mahasiswa, akan tetapi aktor belajar adalah semua komponen masyarakat. Sehingga tanggung jawab kualitas dan keberlangsungan kegiatan belajar bukanlah beban total yang dipikul sekolah, namun pendidikan merupakan tanggung jawab kita bersama (individu, sekolah, masyarakat, tempat kerja, dan Negara). Diharapkan ketika learning society terbentuk, maka akan muncul budaya belajar (cultural learning) yan mewarnai pola hidup masyarakat belajar. Menurut Green dalam bukunya prolegomena to Ethics, ia mengambarkan “ individuals can develop a good manner or character, and hence realise themselves only within society (Bousfield 1999:106). Sedangkan menurut Al-Kaylani seharusnya pendidikan mampu membawa seseorang peserta didik untuk berperan bagi dirinya, masyarakat setempat, dan masyarakat luas.
Pendidikan ideal harus berpijak pada pengembangan keutuhan seseorang peserta didik agar muncul self-realisationnya dengan baik. Sangat tidak bijaksana ketika kegiatan pendidikan justru hanya menekankan sisi kecerdasan intelektual semata-mata. Sedangkan menurut Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (Sidi 2001) bahwa IQ seseorang hanya menyumbang 20% dari kesuksesan seseorang, sedangkan 80 % sisanya ditentukan oleh faktor lain (kecedasan intelektual dan kecerdasan emosional. Pendidikan ideal adalah yang mampu menyeimbangkan domain-domain tersebut sehingga lahirlah masyarakat peradaban (civilize culture society) atau meminjam istilah Inkeles masyarakat modern (modern society) atau lebih populernya biasa kita sebut civil society. Bentuk masyarakat seperti ini tidak mungkin akan ada tanpa lahirnya generasi yang well educated.

Sudah saatnya pendidikan di Negara kita menciptakan terobosan yang inovatif dalam setiap kegiatan pendidikanya. Untuk pendidikan sekolah, hendaknya sekolah memberikan banyak pilihan sesuai dengan kapasitas dan tingkat aktualisasi peserta didik. Di samping stakeholders yang lain selalu membangun kerjasama yang baik dengan pihak sekolah. Tentu saja kerjasama ini akan sulit dibangun jika tidak ada pihak yang berinisiatif dan mau memfasilitasi hubungan timbal balik yang baik tersebut. Dalam hal ini pemerintah hendaknya memantau dan membimbing kemajuan sekolah tanpa harus terjerumus dalam kepentingan politik sesaaat. Pemberdayaan konsep Broad-Based Education, Community-Based Education, dan School-Based Management harus terus dilaksanakan jika tidak mau disebut hanya jargon pemanis pembangunan dunia pendidikan yang sejatinya adalah pelarian pemerintah dari tanggung jawab pendidikan atas nama pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu mendewasakan masyarakat lewat pendidikan yang ideal merupakan langkah yang bijaksana yang harus dikembangkan.

Format Ideal Pendidikan Islam.

Pendidikan Islam pada dasarnya sebagai aspek pemahaman orang terhadap Islam secara keseluruhan, seperti diungkapkan Kepala Badan Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Departemen Agama, "pendefinisian pendidikan Islam merupakan pendidikan manusia secara utuh, baik rohani maupun jasmani (Mudjahid AK)
Ketika peserta didik memahami pendidikan agama yang diperoleh, dia memiliki kemampuan menerapkan secara baik, karena dalam pendidikan Islam, yang ideal adalah mampu menangkap ilmu pengetahuan dan teknologi, selain juga pendidikan agama, kemudian ilmu yang diperoleh tersebut diamalkan dalam praktek hidup sehari-hari sebagai pengabdian terhadap agama dan Sang Maha Pencipta.

Namun, tidak semua orang dapat memahami agama dengan baik dan hidup layak, Itu artinya, kegagalan pendidikan agama pada masyarakat. Akibatnya, terjadi kasus-kasus pemerkosaan, tawuran, pembunuhan, dan masih banyak kasus lainnya.
Oleh karena itu, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam perlu ditingkatkan kualitas dan sarana prasarana, serta penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Sebab, dari tahun ke tahun animo masyarakat terhadap lembaga pendidikan madrasah semakin meningkat, sesuai dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 yang menghilangkan dikotomi sekolah agama dengan sekolah umum, diintegrasikan dalam pendidikan nasional. "Puslitbang selalu membantu dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan Islam yang dikeluarkan pemerintah.

Peran pendidikan memiliki posisi strategis sebagai investasi sumberdaya manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya, sekaligus untuk mewujudkan kompetensi secara manusiawi dan profesional di bidangnya seiring dengan kemajuan pengetahuan, sains dan teknologi. Namun masalahnya, persoalan klasik di dunia pendidikan, seperti kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan dan rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, hingga kini masih menghantui dunia pendidikan di sebagian besar wilayah Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah angka pengangguran yang cenderung semakin meningkat di Indonesia, yang kenyataannya tidak hanya dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja. Namun adanya perbedaan yang cukup besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan kerja. Kondisi ini semata-mata bukan hanya dipengaruhi oleh masalah teknis dan non-teknis pihak penyelenggara, tetapi lebih disebabkan oleh faktor eksternal.

Guna merespon fenomena dunia pendidikan diwarnai kondisi sembrawut, Pemerintah seharusnya perlu memperhatikan masalah sarana dan prasarana pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen), dll. Selain itu, perlu dilakukannya perbaikan dan pembenahan serta reformasi substansial dengan memadukan penguasaan sains dan teknologi, serta perlunya peningkatan pemahaman iman dan takwa yang kokoh kepada Allah SWT melalui jalur pendidikan.Melalui langkah-langkah yang tepat dan strategis, diharapkan sektor pendidikan dapat menjawab berbagai permasalahan dan tuntutan perubahan pendidikan di Indonesia, serta dapat mendorong lahirnya pribadi yang beriman dan bertakwa. Lebih jauh upaya peningkatan mutu dan pelayanan pendidikan kepada masyarakat tersebut, sangat sejalan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan demikian, melalui grand design pembangunan pendidikan yang konsisten, sistem pendidikan di Indonesia dapat bangkit dan mampu menyongsong masa depan yang lebih baik.

Berbicara mengenai format pendidikan islam yang ideal, tidak lepas dari berpedoman kepada Al-qur’an dan hadist, karena keduanya adalah pondasi besar dalam menentukan baik-buruknya sistem kehidupan. Jika selama ini kita selalu terkacaukan oleh banyaknya suguhan-suguhan metode yang ditawarkan dalam rangka penyempurnaan sistem pendidikan, maka langkah cerdasnya marilah kita kembali pada rujukan terbesar dan terbenar yaitu Al-qur’an dan hadist.

y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ

‘Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa’ (Al-baqarah : 2)

Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. membaca firman Allah yang berbunyi: Dialah yang menurunkan Alkitab (Alquran) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan orang-orang yang berakal. Setelah membaca firman tersebut Rasulullah saw. bersabda: Apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari Alquran, maka mereka itulah orang-orang yang telah disebut oleh Allah. Maka waspadalah terhadap mereka. (Shahih Muslim No.4817)
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah Saw.” (HR. Muslim)

Visi Ilmu Pendidikan Islam

Studi tentang pendidikan islam meliputi setidak-tidaknya dua disiplin ilmu, pertama ilmu islam dan kedua disiplin ilmu pendidikan. Untuk itu studi tentang pendidikan islam tidak hanya di arahkan kepada memahami ajaran-ajaran islam dalam berbagai unsur, proses, dan tujuan pendidikan namun bisa menelaah secara kritis kebiasaan dan tradisi proses pendidikam di masyarakat (Sanusi uwes. 2003)

Sebagai dasar pendidikan islam, Al-qur’an dan sunnah menjadi rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan islam. Al-qu’an dan sunnah sebagai rujukan upaya pendidikan tersebut berfungsi sebagai penyaring dan pembenah dari berbagai polemik-polemik yang masuk dalam bidang pendidikan.
Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986 : 2], atau "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman an-Nahlawi, 1995 : 26]. Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan [Roehan Achwan, 1991 : 50]. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Dari pengertian di atas, pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia" [Conference Book,London,1978 : 15-17].

Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Siklus perubahan pendidikan pada diagram di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut ; Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, pendidikan didisain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan" (H.A.R.Tilar,1998 : 245).
Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat.

Kemudian disain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya. Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT (Suroyo, 1991 : 45).

Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam (Fazlur Rahman, 1982 : 155, 160).

A.Syafi'i Ma'arif (1991 : 150), mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.

Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985 : 15) yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan.
Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih.

Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas. Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis.

Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan (A.Malik Fajar, 1995 : 5).

Desain Pendidikan Islam

Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern. Pertanyaannya, disain pendidikan Islami yang bagaimana? yang mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain:

Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah : (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.

Kedua disain "pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni :
(1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2).

Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam, sebagai berikut :

1. Pendidikan adalah proses pembebasan.
2. Pendidikan sebagai proses pencerdasan.
3. Pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak.
4. Pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian.
5. Pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia.
6. Pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif.
7. Pendidikan wahana membangun watak persatuan.
8. Pendidikan menghasilkan manusia demokratik.
9. Pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan.
10. Sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan (Djohar, 1999 : 12).

Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, "kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan" (S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan.

Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998 : 5), "salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka, pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997: Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.

Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara.
Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama ; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (A. Malik fadjar. 1995)
Menurut kiyai Ahmad Dahlan Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.

Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.

Kita menyadari bahwa ikhtiar membangun kurikulum berbasis tauhid (KBT) tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membutuhkan beberapa generasi untuk merealisasikannya, tapi langkah itu setidaknya telah meletakkan satu batu bata untuk pembangunan peradaban Islam yang kokoh dan anggun. Dan kerja di pendidikan adalah kerja-kerja yang sangat stategis dalam rangka meretas generasi masa depan yang berkualitas. Untuk sekarang ini masih terlalu dini untuk melakukan penilaian, tapi paling tidak sebuah penilaian awal yang bersifat umum perlu dikemukakan. Perlu ditekankan di sini, bahwa ini adalah penglihatan awal dari sebuah proses yang masih sedang berlangsung sehingga tidak menutup kemungkinan ada perubahan di kemudian hari.

Begitu juga halnya dengan K.H Hasyim Asy’ari dan Buya Hamka yang lebih menekankan bahwa pendidikan yang utama adalah pendidikan yang dasarnya adalah agama, memperbaiki kualitas manusianya terlebih dahulu dengan mempelajari agama dengan benar kemudian memberi pencerahan yang nyata terhadap aspek-aspek lainnya dalam kehidupan.
Terdapat banyak ayat di dalam al-Qur’an dan Hadits tentang perlunya belajar dan mengajar serta perlunya mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mencapai kesuksesan di dunia dan keselamatan di akhirat. Pendidikan dan pengajaran yang islami sesungguhnya didasarkan atas dua prinsip utama, yaitu : (1) Keteladanan (oleh Pemerintah, guru, orangtua, dan masyarakat), dan (2) Metode pengajaran yang didasrkan atas sinkronisasi iman, ilmu, dan amal.

Kurikulum pendidikan yang islami didasarkan pada prinsip ajaran Islam (aspek afektif). Misalnya prinsip-prinsip tersebut terdapat di dalam al-Qur’an Surat Luqman (Surat ke-31) ayat 12 hingga 19 yang artinya : “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” Landasan kurikulum islam juga dapat dikaji dari surat As-Shad [61] : 87-88 ” Al Qur'an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur'an setelah beberapa waktu lagi.” dan At-Taghabun [64] : 8). “Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al Qur'an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Begitu juga dari Hadits Rasulullah yang artinya : “Setiap anak yang lahir adalah dalam keadaan suci sesuai dengan fitrahnya, orang tuanyalah yang membuat mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (Muttafaqun ‘alaih). Begitujuga Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abi Darda. Dia berkata : Janganlah kalian menjadi orang pandai sehingga engkau menjadi guru, dan janganlah engkau pandai dengan ilmu kecuali engkau dapat mengamalkannya. Sedangkan bagaimana muatan akademis (aspek kognitif) dan kemampuan praktik (aspek psikomotorik) dari mata pelajaran dan metodologi pendidikan disusun secara berjenjang dengan penyesuaian terhadap kebutuhan yang dinamis. Kurikulum disesuaikan dengan perkembangan Iptek dan kebutuhan umat manusia.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah Hadits, “Ajarilah anakmu tetapi bukan dengan cara ketika kamu dahulu diajari oleh ayahmu, karena mereka lahir pada zaman yang berbeda dengan zamanmu”.


Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa : (1) Dalam menghadapi perubahan masyarakat modern, secara internal pendidikan Islam harus menyelesaikan persoalan dikotomi, tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persolalan kurikulum atau materi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih model pendidikan yang relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. (3) Pendidikan Islam didisain untuk dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatan kerja lulusan pendidikan di masa datang. Selain itu perlu disain pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat linier saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan kualitas pendidikannya agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu berubah-berubah. Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat menyiapkan sumber insani yang lebih handal dan memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam ikatan masyarakat modern.

Memang tidak mudah menciptakan SDM muslim Indonesia yang bermutu, namun upaya ke arah itu harus tetap dilakukan, karena hal ini juga merupakan sebagian tugas kita sebagai umat Islam. Peradaban suatu bangsa akan mendapatkan akselerasi kemajuannya apabila ditopang oleh kemampuan SDM yang handal. Kita tidak boleh putus asa akan upaya tersebut, sebab Allah mengingatkan kita: ’Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS Yuusuf [12] : 87)

Selanjutnya, upaya meningkatkan pendidikan yang harus kita bangun kedepan, baik dalam skala mikro (melalu sekolah atau kampus formal) maupun pendidikan dalam skala yang lebih luas termasuk pendidikan masyarakat, penguasa, dan seluruh anak bangsa hendaknya tetap mengacu kepada ajaran Islam sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Nisa [4] ayat 8 yang artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Bagi pemerintah mungkin yang perlu direnungkan dan dikerjakan adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi rakyat dengan biayayang terjangkau oleh kalangan yang paling bawah sekalipun. Selain itu, menetapkan kebijakan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai Islam dari landasan hingga kurikulumnya dengan tujuan membentuk manusia yang berkarakter : (1) berkepribadian dan berprilaku Islami, (2) menguasai ilmu kehidupan (iptek) dan (3) memiliki ilmu kehidupan (keterampilan) yang memadai. Bagi lembaga pendidikan atau yayasan pendidikan hendaknya melakukan proses internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam materi kurikulum. Melakukan koreksi terhadap materi dan metode yang bertentangan dengan Islam dan menghambat kemajuan akademis. Berani membuang sama sekali materi yang kurang berguna, dan berani menambahkan materi baru yang lebih sesuai dengan persaingan dan tuntutan zaman, karena kebanyakan Sekolah Islam kurang unggul dalam bidang MIPA, Iptek modern dan IT.


Referensi

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.

Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.

-------- Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.

Anwar Jasin, 1985. Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis,

Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Amissco, Jakarta

Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.

Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat", Tangga, 4 Mei 199.

Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New York : Harper & Raw, 1968, p. 5.,dalam Syafi'i Ma'arif, 1997. Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif,

Efendi Hasan. 2008.

http://sumberpost.com/index.php?option=com_content&task=view&id=30&Itemid=1

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chicago, Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, 1985.

H.A.R. Tilar, 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang

Mujahid, AK. 2008. http://www.hupelita.com/baca.php?id=18019

Roehan Achwan, 1991. http://www.hupelita.com/baca.php?id=18019

S.R. Parker, et.al, 1990. Sosiologi Industri, Rineka Cipta : Jakarta

Uwes, Sanusi. 2003. Visi Dan Pondasi Pendidikan Dalam Perspektif Islam. PT Logos wacana Ilmu : Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar